Sam Poo Kong: Jejak Laksamana Cheng Ho dan Harmoni Lintas Budaya di Semarang

Table of Contents

Selami sejarah Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, warisan Laksamana Cheng Ho abad ke-14. Destinasi religi dan budaya ini memadukan arsitektur Tiongkok-Jawa.

Kelenteng Sam Po Kong Semarang. (Wikimedia)
Kelenteng Sam Po Kong Semarang. (Wikimedia)

SEMARANG, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Di jantung Kota Semarang, sebuah bangunan megah berwarna merah dengan atap pagoda bertingkat tiga menjulang tinggi, menjadi magnet bagi peziarah maupun wisatawan. Inilah Kelenteng Sam Poo Kong, atau yang juga dikenal sebagai Klenteng Gedung Batu. Sebagai kelenteng tertua dan terbesar di ibu kota Jawa Tengah ini, Sam Poo Kong bukan sekadar tempat ibadah, melainkan sebuah monumen hidup perpaduan sejarah, budaya, dan spiritualitas yang tak terpisahkan dari sosok legendaris: Laksamana Cheng Ho.

Jejak Laksamana Muslim di Tanah Jawa

Kisah Sam Poo Kong bermula pada abad ke-15 Masehi, saat Laksamana Cheng Ho (juga dikenal sebagai Zheng He atau Sam Poo) melayari Laut Jawa. Cheng Ho, seorang utusan perdamaian dari Dinasti Ming Tiongkok, diyakini singgah di Semarang setelah banyak awak kapalnya jatuh sakit. Lokasi persinggahan pertamanya yang kini menjadi kompleks Sam Poo Kong, berada di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang.

Menariknya, meskipun banyak diyakini sebagai Muslim dari suku Hui di Provinsi Yunnan, Cheng Ho juga mendalami ajaran Buddha dan bahkan menyalin sutra-sutra. Ia mengungkapkan rasa syukurnya kepada "San Bao" (Tiga Mustika atau Tri Ratna: Buddha, Dharma, Sangha), yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai "Sam Poo". Jejak akulturasi semakin nyata dengan ditemukannya tulisan berbunyi "Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an" di petilasan berciri keislaman dalam kompleks.

Beberapa awak kapal Cheng Ho, termasuk juru mudi bernama Wang Jing Hong (Kyai Juru Mudi Dampo Awang), memilih untuk menetap. Mereka beradaptasi dengan masyarakat setempat, menikah, dan mengajarkan cara bercocok tanam. Makam juru mudi ini pun kini menjadi bagian dari kompleks kelenteng, diabadikan dalam Kelenteng Kyai Juru Mudi.

Dari Gua Batu Menjadi Klenteng Megah

Nama "Gedung Batu" berasal dari bentuk aslinya, sebuah gua batu besar yang berada di bukit batu. Awalnya, gua ini digunakan sebagai tempat sembahyang umat Konghucu. Namun, pada tahun 1704, gua dan kelenteng aslinya runtuh akibat tanah longsor. Masyarakat setempat kemudian membangunnya kembali dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1724, di lokasi yang lebih stabil dan dekat dengan pusat kota.

Kelenteng Sam Poo Kong yang kini berdiri megah mencerminkan pengaruh arsitektur Tiongkok dan Jawa dari abad ke-14. Luas bangunannya mencapai 1.220 meter persegi. Kompleks ini tidak hanya memiliki Bangunan Kelenteng Utama, tetapi juga beberapa kelenteng lain seperti Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Kyai Jangkar, serta makam Kyai Nyai Tumpeng dan Kyai Tjundrik Bumi.

Pada dinding luar bangunan kelenteng utama, terukir relief panjang yang menceritakan kisah ekspedisi Laksamana Zheng He di abad ke-15. Relief ini, yang batunya didatangkan langsung dari Tiongkok, dikerjakan oleh seniman Bali, menunjukkan harmoni lintas budaya dalam setiap detailnya. Di depan kelenteng utama, berdiri megah patung besar Laksamana Cheng Ho sebagai peringatan kedatangannya yang bersejarah.

Pusat Akulturasi dan Wisata Religi

Saat ini, Kelenteng Sam Poo Kong berfungsi ganda: sebagai tempat peringatan, pemujaan, dan ziarah bagi umat Buddha Tionghoa dan penganut kepercayaan Konghucu, sekaligus sebagai destinasi wisata budaya yang terbuka untuk umum. Ini adalah wujud nyata akulturasi budaya yang berkembang di Nusantara.

Pengunjung dapat menikmati keindahan arsitektur oriental dan suasana sakral di kompleks ini. Terdapat berbagai fasilitas penunjang seperti area parkir yang luas, tenan-tenan makanan dan minuman, kios alat sembahyang dan souvenir, serta penyewaan kostum ala kerajaan Tiongkok untuk berfoto. Sebuah "Wall of Hope" juga tersedia bagi pengunjung untuk menuliskan harapan-harapan mereka.

Kelenteng Sam Poo Kong buka setiap hari, dengan jam operasional pukul 09.00 hingga 18.00 WIB pada hari kerja, dan pukul 08.00 hingga 20.00 WIB pada akhir pekan. Biaya masuk bervariasi antara wisatawan lokal dan asing, serta antara hari biasa dan momen-momen khusus seperti Imlek, dengan tambahan biaya untuk memasuki area kelenteng utama. Suasana akan sangat ramai dan meriah, terutama saat perayaan Imlek, dengan berbagai acara keagamaan dan pertunjukan seperti barongsai.

Sam Poo Kong, dengan segala sejarah dan kemegahannya, adalah permata budaya di Semarang. Ia tidak hanya mengenang perjalanan seorang laksamana besar, tetapi juga menjadi simbol kerukunan dan perpaduan budaya yang kaya di Indonesia.***

Posting Komentar